Judul : Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu
link : Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu
Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu
"Sebagai perempuan, apa kamu sudah siap menghadapi segala resiko yang akan terjadi di lapangan nanti? Bukit Kuntilanak itu angker Iho, sudah banyak anggota tim ekspedisi yang mati di Saporo, hutan lebat yang dikenal angker di seluruh Indonesia," desis Eko Purijanto, kepala tim, seorang ahli supranatural asal Semarang, Jawa Tengah, yang sudah dua puluh tahun tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur.
"Insya Allah saya siap Pak Eko, saya penasaran, saya benar-benar kepingin tahu, apa sih kuntilanak itu, bentuknya seperti apa dan lingkungan hidupnya macam apa," kataku, berdalih tentang rencana keikutsertaan itu.
Tim ekspedisi pencari harta karun di lingkungan bukit yang dikuasai kuntilanak itu, dibentuk di Jakarta, kami berkumpul dan selalu membuat pertemuan di CBD, mall di kawasan Kota Tangerang, provinsi Banten. Eko Purjianto, selain praktek paranormal di Balikpapan, dia juga praktek di Manggarai, Jakarta Selatan. Setiap hari Minggu, dia datang dari Balikpapan dan membantu pasien di Jakarta, lalu pulang lagi ke Balikpapan pada hari Selasa. Karena tekadku sudah bulat untuk ikut, maka aku pun diajak oleh Pak Eko Purjianto. Aku satu-satunya perempuan di antara empat lelaki yang berangkat ke daerah pedalaman Kalimantan Timur itu. Kebetulan, ayah dan ibuku merestui keikutsertaanku dan juga mendoakanku.
"Mama berharap kalian semua sukses mendapatkan harta karun yang dicari dan semuanya selamat, pulang dengan utuh ke ibukota," desis Mama, kepada kami.
"Mama, aku bukan haus harta gaib yang dikuasai kuntilanak itu, Ma, aku hanya kepingin tahu dan ingin melihat seperti apa kuntilanak itu sebenarnya. Lagi pula, Ma, aku diperkenankan oleh big bos majalah tempatku bekerja, Female View, untuk meliput dunia yang selama ini tidak tersentuh pers bersegmen perempuan," tuturku, kepada mamaku.
"Hati-hati lah, Nak, Mama percaya kau bisa menjaga dirimu. Mama yakin karena kau wartawan profesional, bekerja dengan sepenuh hati, loyal total kepada pekerjaan pers ini, dan kau tak akan tergoda jika ada lelaki iseng dalam ekspedisi percarian harta karun bangsa gaib itu," ungkap mamaku, sambil tersenyum renyah.
Kami berangkat ke Balikpapan dari bandara Soekarno Hatta, hari Rabu, 17 Februari 2001. Kami berlima naik pesawat Lion Air, mendarat di bandara Sepinggan pukul 13.45 waktu Indonesia bagian tengah. Dari bandara Balikpapan itu, kami ke rumah Pak Eko Purjianto beberapa jam di daerah Langking Obon, lalu naik mobil kijang milik Pak Eko menuju Bukit Soeharto. Dari Bukit Soeharto, kami terus melanjutkan perjalanan menuju Samarinda untuk membeli beberapa alat ritual di toko Mang Ebeng, di J1. Sudirman, setelah itu kami langsung menuju Sanga-sanga.
Mobil kijang warna hijau tua itu dititipkan di PT. Expan, ke saudara sepupu Pak Eko Purjianto, lalu kami naik speed boat menyusuri Sungai Mahakam. Speed boat itu milik Pak Johan Arifin, saudara sepupu Pak Eko yang punya usaha kayu di Sanga-sanga.
Arkian, jarak antara Sanga-sanga ke Saporo ternyata sangatlah jauh. Jarak itu sepanjang 68 mil sungai, menyusuri Sungai Mahakam menuju matahari tenggelam. Matahari makin sore makin menguning, lalu condong untuk tenggelam. Burung-burung walet sungai, berteriak menghitam di atas kepala kami, mereka akan segera masuk ke sarang mereka di hutan-hutan dekat Hutan Saporo.
Speed boat dikendalikan dengan baik oleh Pak Eko Purjianto yang sangat mahir menyetir boat. Lampu spotlight dinyalakan. pada saat matahari makin menukik ke barat. Mesin boat menderu memecah kebisuan senja, sementara deburan angin Sungai Mahakam, semakin sore semakin mengencang. Ombak membesar dan beberapa bekantan kami lihat berlompatan dari pohon ke pohon di tepi sungai. Monyet besar berpantat merah itu berjumlah ratusan, berteriak nyaring menyambut malam.
Boat terus melaju dengan kecepatan 12 mil per-jam. Makin masuk ke dalam hutan belantara, kayu-kayu tembesu besar dengan reiimbunan dedaunan lebat. Bunga-bunga bungur berguguran jatuh ke sungai dan aku merekam keadaan itu.
"Kita akan kehilangan signal sama sekali sebentar lagi. Daerah Saporo itu adalah daerah blank spot, daerah tanpa signal sama sekali," cetus Pak Eko, saat melihatku mencari signal di LCD handphoneku.
Malam makin gelap, dan cuaca dinginpun tiba-tiba datang menyengat. "Siang hari sangat panas di sini, tapi anehnya, pada malam hari, sangat dingin. Kadang-kadang, kita akan merasa seperti di Eropa Timur," canda Pak Eko Pujianto, kepadaku.
Pukul 19.45, kami sampai di Hutan Saporo. Speedboat langsung sandar dan ditambatkan pada sebuah pohon besar, yang berumur tua dengan akar-akar menjuntai ke sungai.
"Siapkan semua barang dan peralatan, kita berjalan kaki sepanjang 2 kilometer menuju Bukit Kuntilanak," ujar Pak Eko Purjianto, memerintahkan kami semua untuk berbenah.
Setelah menyiapkan semua barang-barang, termasuk alat memasak, karni beranjak meninggalkan speedboat. Aku membawa dua ransel besar yang berisi kamera handycam DCR 140 LD digital dan membawa beberapa lampu kamera handheld. Memang terasa berat membawa alat yang begitu banyak, tapi karena bersemangat karena penasaran kepingin tahu kuntilanak, maka, beban berat itu nyaris tidak aku rasakan. Batinku, aku tidak boleh mengeluh dan aku harus menjadi lelaki dengan tenaga kuat sebagai mana teman-teman yang lain dalam ekspedisi itu.
"Bila kau tidak kuat, lalu kau mau istirahat karena lelah, kau akan kami tinggal, karena hal capek ini, adalah bagian dari resiko yang harus kau temui, kau hadapi, di mana kau akan berjalan di medan yang begitu berat dengan membawa barang-barang yang juga berat," sindir Pak Eko Purjianto, melihat aku kelihatan megap-megap karena capek.
Mendengar omongan itu, aku langsung menegakkan badanku, menguat-nguatkan diriku, berjalan tegap layaknya empat lelaki yang ada di rombongan itu. "Siap komandan, saya akan kuat, saya tidak akan menyerah," kataku, serius.
Pukul 21.45 Waktu Indonesia Tengah, kami sudah sampai di tepi Bukit Kuntilanak. Pak Eko memerintahkan kami berhenti dan memasang tenda portable yang digendong Yono Haryono, anggota tim yang bertubuh tegap besar, berpengalaman naik gunung-gunung tertinggi di dunia, bahkan baru saja turun dari Gunung Mahameru.
Setelah memasang tenda, kami makan malam. Makanan bungkusan yang dibeli dari Sanga-sanga kami keluarkan dan kami makan bersama. Setelah makan, kami melakukan sholat Isya, sekalian Maghrib yang tertinggal. Setelah makan dan sholat, Pak Eko mengeluarkan alat-alat ritualnya. Apel jin, madat Turki, kemenyan Arab dan parfum kesukaan bangsa Kuntilanak, yaitu minyak wangi Elizabeth Arden.
"Bakar kemenyan Arab itu, bakar pula isi apel madat Turki yang ada di dalamnya. Siapkan senter, empat senter sekaligus, semua masing memegang satu senter, jangan ada yang bersuara, batuk pun tidak boleh. Kalau mau batuk, lari sepanjang 100 meter dari areal ini," perintah pak Eko Purjianto.
Setelah membakar semua alat ritual, Pak Eko Purjianto bersila dan mengajak semua anggota, untuk bersila di dalam tenda, mengikuti apa yang dilakukannya. Muka kami semua menghadap ke Bukit Kuntilanak dan semua berdoa, membaca mantra-mantra melayu yang sudah dibekalinya sejak kami... (Bersambung)
Oleh : Henny NawaniLanjut Ke Bagian-2
Demikianlah Artikel Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu
Sekianlah artikel Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu dengan alamat link https://isaku-ikisu.blogspot.com/2015/10/serem-gan-tumbal-dua-sahabat-di-bukit_12.html
0 Response to " Serem gan, Tumbal Dua Sahabat di Bukit Kuntilanak (1), isaku-ikisu "
Post a Comment